Sponsor

Senin, 30 September 2013

1 Ons MEMANG sama dengan 100 gram

Pembahasan mengenai satuan 'Ons' sepertinya kembali marak. Untuk memberikan jawaban lengkap bagi seluruh masyarakat Indonesia, maka penulis tertarik untuk mengulasnya dengan mengumpulkan berbagai artikel pendukung.

Seperti yang disampaikan oleh artikel ini, disebutkan bahwa
1 ounce/ons/onza = 28,35 gram (bukan 100 g.)
1 pound = 453 gram (bukan 500 g.)
1 pound = 16 ounce (bukan 5 ons)

Didorong oleh penulis penasaran untuk mem-verifikasi persamaan di atas, akhirnya saya menemukan artikel di sini yang membawa penulis ke sini.

Kesimpulan, bahwa benar 1 Ons = 100 gram, karena unit yang dipakai adalah dari Belanda. Bangsa Indonesia pernah dijajah oleh Belanda cukup lama (350 tahun). Pantas saja jika hampir seluruh aspek (termasuk satuan ukuran) juga 'diturunkan' dari Belanda.

Orang diluar sana menyamakan Ons dengan Ounce. Itu salah dan perlu dikoreksi. Ounce berasal dari Inggris, Spanyol, dan Perancis. Spanyol menyebut sebagai Onza. Perancis menyebut sebagai Once.

Namun, sesuai dengan UU no 2 tahun 1981, maka satuan Ons sudah tidak boleh dipakai lagi. Indonesia sudah menggunakan satuan internsional (SI) sebagai satuan resmi. SI menyatakan untuk satuan berat adalah Kilogram (kg) dan bukan lagi menggunakan Ons, Ounce, atau yang lainnya.

Senin, 09 Januari 2012

Mengkonversi BBM ke BBG, jadi lebih ekonomis?



Dear Pembaca Setia,

Saat tulisan ini dibuat, marak sekali hiruk pikuk rencana kebijaksanaan pemerintah untuk membatasi penggunaan penggunaan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi (alias Premium) pada mobil-mobil pribadi. Banyak kalangan yang mencoba memberi solusi yaitu menghimbau para pemilik mobil-mobil pribadi untuk menggunakan bahan bakar gas (BBG).

Lho? Kok bisa mobil yang semula pakai BBM jadi pake BBG? Ya bisa atuh. Mobil dipasangkan konverter BBG yang sifatnya bolt-on, tinggal sekrup pada pemasok BBM sehingga mesin bisa menerima BBG. Bahkan bagusnya lagi, bisa switch sewaktu-waktu kembali BBM. Tinggal putar saklar. Jadi, memudahkan para pemilik mobil jika ternyata tidak menemukan Stasiun Pengisian Bahan bakar Gas (SPBG) terdekat, sementara BBG sudah hampir habis. Demikian sebaliknya, dari BBM bisa kembali ke BBG. Bahkan produk yang digunakan oleh PT Autogas Indonesia, sudah bisa otomatis berpindah dari BBG ke BBM jika sensor mendeteksi gas sudah habis.

Dari soal efisiensi ekonomi? Hmm... di sinilah letak mitos-nya. Khususnya ditinjau dari saya pribadi, keekonomisan BBG masih masuk areal "mitos". Mari saya tunjukan hitungannya:

Saya setiap minggu mengisi BBM seharga Rp 150.000,00. Saya mencampur Pertamax Plus seharga Rp 100.000,00 (dengan Rp 8.700,00/liter maka dapat 11,4 liter) dengan Premium seharga Rp 50.000,00 (dengan Rp 4.500/liter maka dapat 11.1 liter). Jumlah total adalah 22,5 liter.

Dari sisi dana, yang dikeluarkan per bulan adalah 4 x 150 ribu = 600 ribu. Dana per tahun adalah 12 x 600 ribu = 7,2 juta rupiah.

Dari sisi volume (liter) yang saya habiskan adalah 90 liter per bulan, atau 1.080 liter per tahun. Jika, menggunakan BBG 100%, maka dana yang dibutuhkan adalah Rp 3.888.000,00 (harga BBG adalah Rp 3.600/liter).

'Tuh, 'kan. Lebih murah. Eits! Tunggu dulu.

Harga konverter kit BBG adalah Rp 9 juta. Harga ini ditambahkan kepada dana tahunan BBG tadi, sehingga total dana pada tahun pertama adalah Rp 12.888.000,00. Sehingga selisih penggunaan BBM dan BBG pada tahun pertama adalah Rp 5.688.000,00.

Selisih ini bisa "dikejar" atau terlimpah pada tahun ke dua. Tahun ke dua total dananya adalah Rp 9.576.000,00. Selisih penggunaan BBM dan BBG pada tahun ke dua adalah Rp 2.376.000,00.

Oleh karena itu, break event point (BEP) penggunaan konvesi kit BBG baru terjadi pada tahun ke tiga. Lain halnya jika 22,5 liter tadi dibelikan 100% Pertamax Plus. Setahun menghabiskan dana Rp 9.396.000,00. BEP terjadi di tahun ke dua.

Kesimpulan bagi saya adalah konversi BBM ke BBG memang ekonomis jika dihitung dana yang dikeluarkan untuk pembelian bahan bakarnya. Namun, menjadi tidak ekonomis jika menghitung ongkos pembelian konversion kit BBM ke BBG. Belum lagi tentang kesediaan SPBG yang masih langka seperti yang sempat disinggung di atas, sehingga masih perlu BBM sambil mencari SPBG.

Demikian. Semoga bermanfaat.

Gambar diolah dengan sumber:
1. Otomotifnet.com
2. Otomotifku.com
3. Okezone.com

Selasa, 01 November 2011

Pulau Komodo dan New 7 Wonder

Dear pembaca setia,

Ketika tulisan ini dibuat, banyak sekali kampanye di Indonesia tentang New 7 Wonder berkaitan dengan Pulau Komodo. Hampir semua pihak terlibat: pemerintah (Kemenbudpar), operator selular, radio, dan lain2. Tapi ada apakah dibalik itu semua, sehingga saya merasa ingin men-share di blog tercinta ini? Silakan klik link berikut: http://bit.ly/tcj1RX

Disclaimer:
Saya bukan penulis dari artikel pada link tersebut. Saya hanya mencoba menghadirkan fakta lain dari suatu informasi.

Ada fakta lain tentang oli

Dear pembaca setia,

Sekedar mem-link informasi tentang produk oli dan review dari masyarakat. Silakan klik link berikut: http://de.tk/X8Ljk

Disclaimer:
Saya bukan penulis dari artikel pada link tersebut. Saya hanya mencoba menghadirkan fakta lain dari suatu informasi.

Kamis, 31 Maret 2011

Mobil Listrik: Benarkah Solusi utk Keterbatasan Energi dan Bebas Polusi?

Rasanya sekitar 3 tahun terakhir, dunia otomotif sedang marak mengeluarkan mobil-mobil listrik, baik itu hybrid (listrik+bensin) atau pun listrik murni. Semua pabrikan, yang mengeluarkan mobil-mobil tersebut, mendengung-dengungkan bahwa teknologi mobil listrik mereka adalah jawaban atas krisis energi (baca: minyak bumi) dan lingkungan.

Sebelum pembahasan lebih lanjut, mari kita lihat teknologi yang diusung mobil-mobil listrik tersebut.



Teknologi Hybrid, adalah teknologi yang memungkinkan sebuah mobil dapat berjalan dengan mesin bensin biasa dan mesin/motor listrik (dari baterai/aki), baik secara bersama-sama atau secara terpisah. Semisal Toyota Prius, mesin listrik bekerja ketika mobil pada kecepatan rendah dan mesin bensin bekerja pada kecepatan tinggi. Baterai/aki untuk mesin listriknya terisi (charging) ketika mesin bensin bekerja dan ketika me-rem mobil (de-akselerasi). Ada generator dan seperangkat sensor dan komputer pada mobil yang memutuskan kapan mesin bensin bekerja, kapan mesin listrik bekerja, dan kapan baterai diisi (charging). Teknologi ini tidak membutuhkan pasokan listrik dari luar, semisal mengisi baterai pada stop-kontak di rumah. Namun kelemahannya adalah, mobil jadi berat karena membawa dua tipe mesin sekaligus.



Teknologi Fuel-Cell, adalah teknologi yang memungkinkan listrik dihasilkan sendiri oleh mobil itu, namun tidak pakai baterai konvensional. Baterainya adalah perbaduan gas hydrogen dan sejumlah sel/panel listrik. Sel/panel2 tersebut akan menghasilkan listrik bila terkena gas hydrogen. Teknologi ini juga tidak memerlukan pasukan listrik dari luar, hanya butuh gas hidrogen. Boleh dikata, dari pada bensin, mesin ini butuh gas hidrogen. Kelemahannya, disamping tidak umum, karena butuh gas hidrogen, ternyata teknologi ini masih mahal.



Teknologi baterai biasa. Mobil memerlukan serangkaian baterai untuk menyimpan energi dari luar (charging). Tipe baterainya masih Litium-ion, sama dengan baterai yang dipakai laptop dan handphone, hanya saja jumlahnya cukup banyak. Kelemahan teknologi ini sudah disebutkan, yaitu butuh pasokan dari luar, di-charge dulu sebelum bisa dipakai. Lama dan berapa jarak tempuh setelah baterai penuh, tergantung efisiensi teknologi masing2 pabrikan.

Sebelum disebutkan disebutkan kelemahan-kelemahan semua teknologi mobil listrik di atas terhadap krisis energi dan polusi, mari kita sebutkan keunggulan-keunggulannya dahulu.

Sunyi alias tidak bising. Benar, karena bising umumnya ditimbulkan dari proses mekanik, di mana pada mobil listrik (ketika mesin listriknya bekerja), satu-satunya proses mekanik yang membuat mobil bergerak adalah di motor listriknya (yang menggerakkan roda). Oleh karenanya, beberapa negara mewajibkan mobil listrik mengeluarkan suara agar para pejalan kaki menyadari ada mobil listrik lewat demi keselamatan semua pihak.

Mudah mengisi 'bahan bakar'. Benar pada mobil listrik dengan baterai saja (selain hybrid dan fuel-cell), karena cuma butuh listrik. Listrik itu mudah didistribusikan dibandingkan dengan minyak/bensin. Jaringan listrik ada di mana-mana termasuk di rumah. Mau mengisi baterai? Tinggal colok ke stop-kontak yang ada.

Nah, sekarang kelemahan, atau lebih tepat adalah mempertanyakan slogan-slogan yang sering didengung-dengungkan.

Teknologi ini bebas polusi, benarkah? Mari kita lihat, ke mana sumber listrik di mana pun berasal? Apalagi kalau bukan pusat pembangkit tenaga listrik, bisa saja PLTA, PLTD (Diesel), PLTGB (Gas Bumi), PLTBB (Batu bara), atau PLTN (Nuklir). Sesungguhnya mobil listrik itu memindahkan polusi ke pusat-pusat pembangkit tenaga listrik, utamanya PLTD, PLTBB, dan PLTN. Memiliki mobil listrik berarti menambah beban dan permintaan daya listrik, utamanya di rumah. Berarti pusat-pusat listrik tersebut perlu menghasilkan listrik lebih banyak lagi, artinya makin banyak bahan yang dibakar (Batu bara, solar, atau Nuklir). Jika yang ada sudah tidak cukup, pasti akan dibuatkan pembangkit baru. Jika tidak ada bahan baku semisal solar dan batubara, pastinya alternatifnya adalah nuklir. Masih ingat soal PLTN Fukushima di Jepang yang bobol akibat tsunami? Betapa besar resikonya! Juga menambah krisis energi ke pihak lain (ke pembangkit listrik tsb).

Mobil listrik harganya masih selangit, di mana dengan harga tersebut, orang masih bisa beli belasan hingga puluhan mobil kelas menengah lainnya. Juga harga tersebut, bisa digunakan untuk membeli bensin sekian juta liter.



Solusi sesungguhnya adalah lebih baik memakai sel tenaga matahari. Gratis. Walaupun memang diakui teknologi sel tenaga listrik ini masih belum bagus. Sepengetahuan penulis, sepertinya belum ada mobil bersel tenaga matahari yang diproduksi masal. Semua masih berupa konsep dan eksperimen.

Senin, 03 Mei 2010

Jumat, 09 April 2010

Botol Plastik Air Minum dalam Kemasan, Berbahaya Jika Dipakai Ulang


Sering dengar mantra seperti judul di atas? Ketahuilah bahwa Anda tidak sendiri. Namun sayangnya mantra tersebut adalah mitos.

Benar bahwa hampir semua produk plastik mencantumkan kode angka. Angka-angka tersebut dikeluarkan oleh American Chemistry Council (ACC). Angka-angka tersebut, apalagi dipakai sebagai bahan pembuat kemasan makanan dan minuman, atau untuk alat makan dan minuman, telah diuji coba oleh U.S. Food and Drug Administration (FDA) demi keamanan dan keselamatan. Baik dipakai untuk sekali maupun berulang-ulang.

Kecenderungan banyak orang, khususnya di Amerika, untuk membuang kemasan plastik adalah karena masalah budaya dan gaya hidup. Bukan karena membahayakan kalau dipakai berulang-ulang.

Bagaimana dengan larangan penggunaan botol plastik untuk botol dot bayi? Sebenarnya, sebuah penelitian yang dilakukan oleh U.S. National Institute of Health (NIH) disekitar tahun 2008, telah mengatakan dalam laporannya, bahwa dalam bahan plastik (khususnya botol dot bayi), terkandung Bisphenol A (BPA). Zat ini dianggap mempengaruhi kesehatan janin, bayi, dan anak-anak. Hal ini diperhatikan penuh oleh FDA pada sebuah laporannya tahun 2010.

FDA, semenjak 2008, juga telah menggiring industi agar menghilangkan kandungan BPA pada setiap produk yang digunakan sebagai alat atau kemasan makanan (atau apapun yang bersentuhan dengan makanan).

Jadi, bagaimana kesimpulannya?
  1. Walaupun aman, baiknya botol (bukan galonan) air minum dalam kemasan digunakan hanya untuk beberapa kali pakai saja karena kemasan tersebut (umumnya) mudah rusak dan kotor. Dikhawatirkan serpihan kerusakannya dan kotorannya lah yang menyebabkan penyakit. Air yang dipakai adalah air sejuk (sekitar 26 derajat Celcius) atau dingin.
  2. Gunakan hanya plastik tahan panas apabila hendak menuangkan air/makanan panas ke dalam kemasan plastik. Biasanya memiki angka 5PP ke atas.
  3. Terkadang yang ikut meracuni makanan adalah hiasan plastiknya, misal cat untuk lukisannya, ketimbang bahan plastik kemasannya. Ini dikarenakan cat (pewarna atau bahan dasarnya) mudah rontok/terkelupas sehingga bisa bercampur makanan.
  4. Gunakan produk teflon (salah satu 'varian' plastik) yang melapisi cukup tebal dan berkualitas pada panci (misal wajan atau Rice Cooker). Jika terlalu tipis, akan mudah terkelupas dan tercampur ke dalam makanan (nasi).
  5. Produk plastik itu aman selama dipakai sesuai petunjuk dan bahan pembuatnya, yang biasanya diwakili dengan Plastic Packaging Resins Number dari ACC.
  6. Gunakan produk plastik berkualitas dan diketahui asal usul untuk menjamin mutu.

Sumber-sumber:
http://www.plasticsinfo.org/s_plasticsinfo/sec_level2_faq.asp?CID=705&DID=2839
http://www.msnbc.msn.com/id/26223328/
http://www.plasticsmythbuster.org/Main-Menu/Plastics-Rumor-Registry/Bottles-With-Plastic-Recycling-Numbers-Below-5-Release-Cancer-Causing-Chemicals-.aspx
http://www.fda.gov/NewsEvents/PublicHealthFocus/ucm197739.htm
http://en.wikipedia.org/wiki/Bisphenol_A#cite_note-U.S._Food_and_Drug_Administration-0
http://www.americanchemistry.com/s_plastics/bin.asp?CID=1102&DID=4645&DOC=FILE.PDF